Selasa, 11 Juni 2013

Cara Sunan Kalijaga Ajarkan Dzikir


SUNAN KALIJAGA  atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijogo adalah pemimpin para Wali di tanah Jawa. Nama Sunan Kalijogo sangat melegenda di tengah masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. 

Karena perannya yang penting dalam penyebaran Islam pada masa Kerajaan Demak Bintoro dan Walisongo, hingga kini namanya masih dikenang luas umat Islam. Keharuman perjuangannya membuat jutaan umat muslin senantiasa membanjiri makamnya di Kadilangu, Kabupaten Demak, Jawa tengah.

Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1450-an dengan nama Raden Said. Dia adalah putra Adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga adalah Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai tiga putra, yakni Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah dan Dewi Sofiah.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang berdiri pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.

Wali yang dikenal suka memakai pakaian adat Jawa dengan pakaian warna hitam ini ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang (saka) "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama Masjid Agung Demak adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam mendekatan diri kepada Allah Swt, Sunan Kalijaga menggunakan dzikir sebagai sarananya. Berbagai macam bacaan dzikir beliau ajarkan kepada muridnya, begitu pun cara berdzikirnya, mulai dzikir lisan, dzikir nafas, dzikir qolbu, dzikir ruh, dzikir perbuatan dan lain sebagainya.

Beliau mengajarkan dzikir kepada seseorang sesuai dengan tingkat  ketaqwaan atau maqom orang tersebut. Karena itu sangat wajar jika di masyarakat banyak yang mengaku mendapatkan amalan dzikir bersumber dari ajaran Sunan Kalijaga, meskipun mereka berbeda baik bacaan maupun caranya berdzikir.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan gurunya yang  sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salafi"-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Beliau juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Sunan Kalijaga sangat toleran pada budaya lokal. Beliau berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Dalam pandangan Sunan Kalijaga,  jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.

Beberapa lagu suluk ciptaan Sunan Kalijaga yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, Garebek Maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, Alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat Kota Demak (Bintara/Bintoro).  Makam Sunan Kalijaga hingga sekarang masih ramai diziarahi orang. Biasanya setiap Hari Jumat bertepatan dengan perhitungan Jawa yakni Jumat Pon, dan Juamat Kliwon, para peziarah diberi kesempatan masuk ke cungkup makam Sunan Kalijaga. Adapun pada hari-hari biasanya cungkup selalu tertutup sehingga peziarah hanya bisa berdoa di luar cungkup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar